Jakarta (Bimas Buddha) ---------- Setelah Kajian Dampak Cagar Budaya Pemasangan Chattra pada Stupa Induk Candi Borobudur Terhadap Outstanding Universal Value dan Daya Tarik Candi Borobudur selesai dilakukan, Ditjen Bimas Buddha selenggarakan Uji Publik Bentuk dan dan Material Chattra Candi Borobudur secara daring dan luring.
Hadir dalam uji publik diantaranya Tim Kajian Dampak Cagar Budaya Pemasangan Chattra dari BRIN, beberapa perwakilan dari Kementerian seperti Menko PMK, Kemendikbudristek, perwakilan Direktur Pengembangan Kawasan Permukiman di Direktorat Jenderal Cipta Karya, Pakar dan Praktisi, Tokoh Agama, Komunitas Ruwat Rawat, perwakilan Museum dan Cagar Budaya Warisan Budaya Borobudur serta beberapa instansi lainnya
Supriyadi menyampaikan bahwa Ditjen Bimas Buddha Kementerian Agama selaku wakil dari umat Buddha Indonesia senantiasa berusaha memberikan layanan terbaik buat masyarakat Buddha dimana harapan masyarakat Buddha untuk menempatkan kembali Chattra di puncak stupa ini sudah cukup lama dan baru secara formal kemudian disampaikan oleh Menteri Agama Gus Yaqut Cholil Qoumas pada saat rapat DPSP semester I tahun 2023 di Borobudur.
Dirjen menambahkan untuk rencana pemasangan Chattra di puncak stupa betul-betul mendapatkan perhatian dan arahan, “Kami selaku pemrakarsa melakukan upaya agar apa yang dilakukan terhadap warisan dunia itu tetap mematuhi kaidah-kaidah yang ditetapkan oleh UNESCO maka kemudian kami mengajukan kajian kepada Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN),” sebutnya pada Rabu (17/07/2024).
Deputi Bidang Kebijakan Pembangunan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Mego Pinandito mengatakan uji publik seperti yang disampaikan dan juga menunggu arahan dari Ditjen Bimas Buddha apa saja yang harus dilakukan bersama.
“Tapi yang jelas karena ini merupakan salah satu wujud dari warisan dunia maka kita perlu melihat apa yang memang sudah ditetapkan sebagai persyaratan kemudian kalau kita akan melakukan sesuatu dengan candi Borobudur itu sendiri,” jelas Mego Pinandito.
Mego Pinandito juga menyebut dalam konteks ini pihaknya akan mengupayakan yang terbaik bersama dengan UNESCO. Sehingga, apa yang kita lakukan semuanya sejalan dengan berbagai peraturan apa yang diharapkan oleh komite warisan dunia.
“Tentunya kami berupaya bahwa dalam konteks melakukan berbagai hal diupayakan memang mencari masukan baik secara langsung maupun berdasarkan data dari seluruh stakeholder, pakar, organisasi, dan perwakilan komunitas. Diharapkan hasilnya bisa merangkum semuanya,” lanjutnya.
Kita memiliki satu visi misi yang sama yaitu bagaimana menyempurnakan Candi Borobudur itu sendiri. Sehingga dengan terjadinya pemasangan nantinya langkah-langkah sesuai dengan prosedur standar konservasi dari komite warisan dunia ini dengan berbagai tahapan yang ada.
Handaka Vijjananda (Pendiri Ehipassiko Foundation) menjelaskan Borobudur merupakan sebuah stupa besar atau maha stupa dari strukturnya ada landasannya dan ada kubahannya dan ada harmika dan diujungnya ada tiang dan payung, Borobudur sebuah struktur yang di sebut maha stupa.
“Sebuah struktur yang lengkap atau sebuah harus mengandung elemen-elemen tersebut, kalau kita lihat sekarang ini masih ada yang kurang yaitu bagian puncaknya yaitu bagian payungnya atau chattranya dan itu yang kita kaji hari ini,” ujar Handaka.
Menurutnya chattra itu suatu elemen yang mutlak harus ada di setiap candi apalagi yang maha candi, kalau kita lihat dari stupa di seluruh dunia seperti India, Nepal, Srilangka, Thailand, Myanmar sebetulnya maha stupa utama pasti ada chattranya. Kalau tidak ada chattranya kelihatan tidak lengkap. Ibarat raja tanpa mahkota”, jelas Handaka.
Sementara Anton perwakilan dari Kemendikbudristek menyampaikan pihaknya akan berusaha memfasilitasi keinginan dan berusaha menjembatani usaha perlindungan dan usaha pengembangan.
“Kami juga mengharapkan nantinya dari kajian yang dijalankan ini ada sedikit perubahan bahwa yang diutamakan atau yang menjadi dasar yang paling kuat adalah adanya keinginan dari masyarakat Buddha untuk memasang chattra dalam rangka melengkapi Candi Borobudur dari sudut filosofi,” terang Anton
Anton menambahkan hal-hal yang berkaitan dengan meningkatnya kunjungan dan meningkatnya hal-hal yang berkaitan dengan pariwisata tentu mungkin menjadi hal sekunder, tapi hal primernya adalah keinginan dari masyarakakat Buddhis itu, tentu dengan mempertimbangkan masukan-masukan dari para arkheolog, sosiolog dan lainnya.