Dalam meningkatkan keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Sang Triratna) pegawai Ditjen Bimas Budha lakukan puja bakti dan doa bersama untuk kemajuan umat Buddha Indonesia, Selasa (27/09).
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha Supriyadi mengatakan bahwa hari ini kita semua bertemu dan mudah mudahan, kita semua punya tekad dan misi yang sama untuk kemajuan umat Buddha Indonesia.
Lebih lanjut Supriyadi berharap kita semua seluruh jajaran Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha akan dapat menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya.
Menurut Dirjen kita mengenal filosofi bahwa dalam sebuah kepemimpinan itu akan lebih bermakna manakala sifat-sifat brahmana dan kesatria dapat digabungkan.
“Kita semua sebagai ASN yang memang mempunyai karakter sebagai kesatria akan tentu mendapatkan bimbingan dan arahan dari dari para Brahmana,” ungkapnya.
Bhante Dhammasubho Mahathera dalam Dhammadesana menjelaskan dalam ungkapan rasa syukur ada lima jenis.
“Dalam tradisi alam semesta, apa yang dibutuhkan oleh bumi langit adalah rasa syukur. Rasa syukur dipakai untuk mengungkapkan sesuatu kejadian,” ungkap Bhante.
Menurut Bhante ada lima jenis syukur yakni: syukur bisa mengalahkan musuh, syukur bisa menghukum musuh syukur dapat membunuh musuh, syukur karena menerima hadiah (rasa bahagia sama seperti besarnya hadiah, jika hadiah sudah rusak maka rasa syukur berubah menjadi menggerutu) dan syukur karena kita bisa memberikan hadiah.
“Karena itulah rasa syukur menjadi awal dari setiap langkah menapak jejak, merakit kata, berbahasa rasa, berkarya nyata, menanam benih-benih kebajikan agar bisa tumbuh menjadi akar keyakinan, berdaun keindahan yang meneduhkan berbunga keharuman berbuah kebahagiaan,” jelasnya.
Bhante mengajak untuk mewujudkan puja kepada bumi dan langit.
“Kita kehilangan momen besar yaitu dalam budaya Puja. Kita harus wujudkan offering/puja kepada bumi langit dengan memilih pemberian yang paling indah. Pisang dipilih yang paling indah (pisang mustaka raja). Sekar sesaji berupa menyuguhkan sesuatu yang paling indah. Bubur merah (abang) dan putih menggambarkan asal-usul kita dari ayah dan ibu,” kata Bhante.
“Ditengah-tengahnya ada warna kuning dan biru menggambarkan kakek dan nenek. Menjadikan bubur pancawarna mengembalikan kepada diri kita orang yang baik cuaca yang cerah sejuk ada berkah menjadikan Pelangi. Maka bagi manusia yang tidak mengenal ini hidupnya panas dan mudah terbakar karena tidak ingat bumi langit yang telah memberikan segi baiknya kepada kita seperti orang tua memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Oleh karena itu kita melakukan puja dengan sebuah pesembahan (pisungsung), sekar saji, pisang mustaka raja, bubur merah-putih, jenang pancawarna,” pungkasnya.
Di akhir dhammadesana Bhante mengajak semua umat Buddha mengucap syukur semoga diberi kelebihan (tansah linuber) berkah untuk semuanya.