Jakarta (Bimas Buddha) ------------ Dalam rangka mendukung percepatan sertifikasi tanah milik lembaga keagamaan, Kementerian ATR/BPN telah melakukan diskusi dengan Ditjen Bimas Buddha dan eselon 1 lainnya terkait kebijakan perlindungan hak tanah bagi lembaga keagamaan. Kebijakan ini bertujuan memberikan kemudahan bagi lembaga keagamaan dalam memperoleh sertifikat hak milik atas tanah, khususnya untuk rumah ibadah maupun aset lain yang mendukung kegiatan keagamaan.
Sebagai tindak lanjut dari diskusi tersebut, Ditjen Bimas Buddha mengadakan rapat dengan seluruh Pembimas, Kasi, Penyelenggara Buddha, dan Organisasi Keagamaan Buddha untuk berkoordinasi tentang percepatan pendaftaran sertifikasi tanah Rumah Ibadah Agama Buddha secara daring, pada Rabu (15/1/2025).
Sebagai informasi, hingga saat ini tercatat masih banyak tanah milik lembaga keagamaan yang belum tersertifikasi. Berdasarkan data Kementerian ATR/BPN, terdapat sekitar 93.000 aset rumah ibadah dari berbagai agama yang belum memiliki sertifikat hak milik atas tanah. Di lingkungan agama Buddha sendiri, tercatat ada sekitar 5.000 aset yang perlu segera disertifikasi.
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha, Supriyadi, menyambut baik kebijakan yang akan dijalankan oleh Kementerian ATR/BPN ini.
“Kami menyambut baik atas kebijakan yang akan dijalankan oleh Kementerian ATR/BPN terkait dengan program percepatan sertifikasi tanah milik lembaga keagamaan,” ujarnya.
Salah satu langkah yang disampaikan adalah pentingnya memverifikasi status aset tanah. Tanah dengan status Hak Guna Bangunan (HGB) dapat ditingkatkan menjadi Hak Milik atas Tanah melalui proses penetapan aset itu sebagai milik lembaga keagamaan. Sementara itu, aset dengan status girik atau letter C/D perlu diupayakan untuk meningkatkan statusnya melalui proses validasi dan sertifikasi di Kantor Pertanahan setempat.
Dalam kesempatannya Supriyadi juga menyampaikan bahwa proses pensertifikasian tanah ini gratis.
“Proses pensertifikasian tanah di Kantah ATR/BPN ini sudah disepakati antar kita semua bahwa untuk biaya pensertifikatan itu tidak dipungut biaya,” terangnya.
Selain itu, Supriyadi mengingatkan kepada para pemegang sertifikat yang masih dalam status Hak Guna Bangunan untuk memperhatikan masa berlakunya. Sertifikat HGB memiliki masa berlaku rata-rata 20 tahun, dan jika dibiarkan habis masa berlakunya, tanah tersebut dapat kembali menjadi milik negara.
Kepada para Pembimas, Kasi, Penyelenggara, Ketua Majelis, para Penyuluh, dan seluruh pemangku kepentinga, Dirjen mengajak untuk dapat turut berperan serta mempercepat program yang akan dijalankan ini.
“Ayo kita bergerak bersama memanfaatkan kesempatan atau kebijakan dari program yang akan dijalankan oleh Kementerian ATR/BPN ini. Kita bergerak bersama-sama, masing-masing melaporkan dan mendata rumah ibadah atau lembaga keagamaan yang masih memiliki tanah dalam tanda petik contohnya HGB ataupun dalam bentuk letter C, letter D, atau girik. Mari kita rembukkan program ini secara berkelanjutan,” ajaknya.
Program percepatan sertifikasi tanah ini diharapkan mampu memberikan kepastian hukum dan perlindungan penuh atas aset lembaga keagamaan, sekaligus memperkuat fungsi rumah ibadah sebagai pusat kegiatan keagamaan dan sosial.